Powered By Blogger

Khamis, 3 Jun 2010

MENGGAYANGPORNOGRAFIDALAMSASTRAINDONESIA

Mengganyang Pornografi dalam Sastra Indonesia

Oleh Bonari Nabonenar

Kita telah menghabiskan beratus ribu kilobit, mungkin malah berjuta, untuk membahas sastra dan kepornoan, persoalan yang sebenarnya tidak akan pernah selesai hanya dengan diperdebatkan, bahkan walau ditambah aksi turun ke jalan. Dengan kesadaran demikian, pastilah tulisan ini dibuat tidak untuk maksud membantu menyelesaikan persoalan tersebut. Ini hanya sekadar lontaran pertanyaan, mungkin beberapa pertanyaan.

Beberapa waktu lalu saya menerima SMS dari Kusprihyanto Namma, meminta saya memberikan jawaban, apakah saya setuju dengan gerakan antipornografi, lebih jelasnya menolak sastra yang sekadar dijadikan sebagai media untuk bermain-main dengan urusan kelamin dan sekitarnya. Maka, saya jawab, Ya, saya setuju! Tetapi, ternyata saya telah pula membaca Gatholoco dan Darmogandhul, juga Centhini terutama bagian-bagian yang oleh sebagian orang dianggap porno. Saya juga membaca Saman, Supernova, Menyusu Ayah, dan beberapa karya para perempuan yang belakangan dimasukkan ke dalam kategori Sastrawangi. Saya yakin, mereka yang lebih dahulu dan lebih keras meneriakkan pentingnya gerakan mengganyang (tak pelak: sekaligus sambil memroklamasikan/memromosikan) pornografi di dalam sastra Indonesia pernah pula dan bahkan lebih intens-- membaca karya-karya itu.

Di usia belasan tahun, saya memang bergetar dan bernafsu (kelamin) ketika membaca tulisan lucah macam Nick Carter. Tetapi, ketika di bangku kuliah berhadapan dengan Gatholoco,Darmogandhul, dan Centhini yang tak kalah beraninya dibanding Nick Carter dalam hal menggambarkan dunia kelamin dan perkelaminan, perasaan (kelamin) saya biasa-biasa saja. Gatholoco dan Darmogandhul, malahan, membuat seluruh jiwa saya gemetar ketakutan. Ketakutan yang indah, jika boleh saya bilang begitu.

Maka, menurut saya, jika pengganyangan terhadap kepornoan dalam sastra (khususon Sastra Indonesia) akan sungguh susah dilakukan dengan cara, misalnya: memenjarakan para pengarang porno, membakar semua buku-buku yang dianggap mengandung pornografi, kita masih mungkin bergerak, berupaya, di bidang regulasi. Beberapa penerbit tampaknya sudah mencantumkan label dewasa untuk buku-buku yang dianggap tabu bagi anak-anak/remaja. Tetapi, pelaksanaannya mungkin memang susah. Apalagi, RUU Anti-Pornografi dan Porno-Aksi (RUUAPP) yang sempat jadi perdebatan seru itu pun kini makin tak ketahuan juntrung-nya. Sebagian besar para penolaknya, saya kira, adalah juga bagian dari masyarakat yang tidak suka terhadap pornoaksi dan pornografi. Dengan kata lain, tampaknya penolakan itu lebih didorong oleh problem redaksional pasal-pasalnya.

Beberapa tahun silam, seorang teman mengabarkan bahwa ia sedang mengikuti (sebagai sastrawan) program Sastrawan Berkunjung ke Sekolah-sekolah. Di dalam rombongan itu, katanya, ada seorang tokoh yang dikenal pula sebagai sastrawangi, yang karya-karyanya hampir tak pernah lupa disebut-sebut ketika orang berbicara tentang kepornoan dan Sastra Indonesia. Rasanya jadi semakin lucu, ketika orang paling berpengaruh, sebutlah saja sebagai mbaureksa program dan sekaligus pemimpin rombongan itu ialah orang yang juga keras berteriak, Ganyang pornografi di dalam Sastra Indonesia! Mengapa bisa demikian?

Yang lebih lucu lagi menurut saya adalah sikap Pemerintah Republik Indonesia yang tampaknya membiarkan saja penerbit Balai Pustaka habis diganyang penerbit-penerbit swasta yang berkiblat ke Pasar. Dulu, sebelum era Reformasi, sebelum era Otonomi Daerah, kita masih melihat Balai Pustaka (yang didirikan tahun 20-an sebagai salah satu ujud pelaksanaan Politik Etis Penjajah Belanda) menerbitkan buku-buku berkualitas untuk memasok bahan bacaan sekolah-sekolah, bukan hanya buku-buku berbahasa Indonesia, melainkan juga buku-buku berbahasa daerah.

Berteriaklah sekeras-keranya, Wahai anak-anak sekolah dan para remaja, janganlah kalian membaca tulisan-tulisan porno! Tetapi, apakah kita sudah cukup menyediakan bacaan yang tidak porno bagi mereka?

Maka, kita tunggu saja, suatu saat nanti melalui Departemen Pendidikan Nasional Pemerintah akan memberikan bintang jasa kepada sastrawan yang sering menonjolkan kepornoan di dalam karya-karyanya. Karena yang mengusulkannya adalah orang besar di jagad Sasatra Indonesia. Karena pejabatnya hanya mau percaya saja, sebab ia sendiri tidak pernah mau tahu urusan Sastra Indonesia.

Sementara itu, penentu kebijaksanaan pengadaan buku untuk bacaan di sekolah-sekolah, di pusat maupun di daerah-daerah, hanya mau menunggu tawaran harga supermurah dari para penerbit komersial, yang bisa di-mark-up semau-maunya.

Oh, janganlah terlalu dimasukkan ke dalam hati, sebab itu hanya dugaan-dugaan saya saja. Tetapi, jika pun benar ada yang demikian dan kita diamkan saja, gerakan mengganyang pornografi dalam Sastra Indonesia itu pastilah hanya akan jadi isu sesaat yang tak banyak berarti.

കര്കൊണോ പര്ടോകുസുമോ ഏലിയാസ് KAMAJAYA

Karkono Partokusumo alias Kamajaya

Banyak orang mengenal ia sebagai ''Kamajaya'', nama yang selalu dipakainya untuk karya tulisnya, baik berupa buku, artikel, cerita fiksi, maupun esei. Kamajaya, yang aslinya bernama Karkono Partokusumo, sudah menulis lebih dari 30 judul buku. Di antaranya: Solo di Waktu Malam (novel, 1950), dan Nagalinglung Tunggulwulung (1980). Ia juga melakukan transliterasi (melatinkan) Serat Centhini dari huruf Jawa (enam jilid, 1975-1982). Semacam ensiklopedi khazanah pengetahuan Jawa ia garap pula, bernama Almanak Dewi Sri (terbit tiap tahun sejak 1971).
Setalah peristiwa perkosaan Sum Kuning di Yogya, tahun 1970, ia menerbitkan buku Sum Kuning bersama dengan tim pembela dan wartawan Pelopor Yogya yang kini bekerja di majalah Tempo, Slamet Djabarudi.
Karkono sudah kondang sebagai ahli kebudayaan Jawa yang mumpuni. Sudah sejak 1950-an ia aktif, misalnya pada 1957-1958 menjadi Ketua Yayasan Bahasa dan Kesusastraan Jawa di Yogya. Lalu sejak 1963, ia penasihat Organisasi Pengarang Sanstra Jawa (OPSJ). Dalam Yayasan Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan ''Panunggalan'', Lembaga Javanologi Yogyakarta, Karkono masuk dalam daftar para pendiri, dan sejak 1984 menjadi wakil ketua.Kecintaan Karkono pada filsafat dan kebudayaan Jawa sudah mulai tumbuh ketika ia masih kanak-kanak. Ayahnya, Partosentono, seorang pedagang palawija asal Klaten (Jawa Tengah), sering kedatangan teman sejawatnya untuk melakukan pembacaan kitab-kitab Jawa. ''Sebagai anak kecil, waktu itu, saya sering tiduran di balik punggung ayah saya, sambil mendengarkan pembacaan itu,'' tutur Karkono.
Pada kesempatan yang berbeda, ibunya, yang sehari-harinya berdagang batik, sering melagukan tembang-tembang klasik dari khazanah ajaran Wedhatama, Wulangreh, dan semacamnya. ''Ibu banyak mengajari saya menyenandungkan tembang-tembang itu,'' katanya.
Tumbuh dalam suasana yang diliputi kesenian adiluhung, Karkono -- anak ketiga dengan lima saudara -- tidak lantas terbuai. Pada masa perjuangan kemerdekaan, tepatnya 1948, ia ikut bergerak. ''Saya telah kontrak mati,'' katanya. Yang dilakukannya adalah dengan speedboat 80 ton dari Popoh (Kediri Selatan) menyelundupkan candu ke Singapura, dalam rangka mencari dana. ''Pulang ke Jakarta, menyelundup lagi sebagai penumpang gelap kapal Belanda Boissevain,'' tuturnya.
Jauh sebelum itu, 1936, Karkono, waktu itu anggota Perdi (Persatuan Djurnalis Indonesia), sempat diadili Pengadilan Surakarta, gara-gara tulisannya yang terlalu keras di harian Sedya Tama. Ia divonis 3 bulan penjara atau denda 100 gulden. Denda dibayar oleh media tempat ia menulis. Namun, ia juga diperintahkan meninggalkan wilayah Mangkunegaran oleh Sri Mangkunegara VII. ''Tapi keputusan itu tidak pernah dilaksanakan,'' kata Karkono.
Karkono menikah dengan Sri Murtiningsih, 10 Maret 1969, dianugerahi seorang anak.


Nama :
KARKONO Partokusumo alias Kamajaya

Lahir :
Sumberlawang, Sragen, Jawa Tengah, 23 November 1915

Agama :
Islam

Pendidikan :
- Neutrale Holands Inlandse Jongensschool, Solo (1931)
- Gouvernements MULO di Solo (1933)
- Taman Guru Taman Siswa di Yogyakarta (1935)

Karir :
- Koresponden harian Utusan Indonesia, Sedya Tama, Panyebar Semangat, OL Mij Boemipoetera, Sara Moerti (1935-1936)
- Redaktur majalah Poestaka Timoer, Wakil Pemred majalah Moestika dan lain-lain (1938-1945)
- Pengusaha toko Kotagede (1948-1972)
- Presiden Direktur PT Usaha Penerbitan Indonesia, Yogyakarta (1950 -- sekarang) Kegiatan lain: Wakil Ketua Yayasan Ilmu Pengetahuan ''Panunggalan'', Lembaga Javanologi Yogyakarta

Karya :
- Antara lain: Kagunan Djawi, Kolff Buning, Yogyakarta (1940)
- Solo di waktu Malam, Gapura, Jakarta (1950)
- Pendidikan Nasional Pancasila, U.P. Indonesia, Yogyakarta (1965)
- Sum Kuning, U.P. Indonesia, Yogyakarta (1972)
- Saijah Adinda, terjemahan bebas buku Max Havelaar (Multatuli), U.P. Indonesia, Yogyakarta (1977)

Alamat Rumah :
Jalan Dr. Sutomo 9, Yogyakarta Telp: 3010

Alamat Kantor :
Jalan Sultan Agung 57, Yogyakarta

ENSIKLOPEDIS

ENSIKLOPEDIS

Serat Centhini

Serat Centhini atau juga disebut Suluk Tambanglaras atau Suluk Tambangraras-Amongraga, merupakan salah satu karya sastra terbesar dalam kesusastraan Jawa Baru. Serat Centhini menghimpun segala macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa, agar tak punah dan tetap lestari sepanjang waktu. Serat Centhini disampaikan dalam bentuk tembang, dan penulisannya dikelompokkan menurut jenis lagunya.

Penggubahan
Menurut keterangan R.M.A. Sumahatmaka, seorang kerabat istana Mangkunegaran, Serat Centhini digubah atas kehendak Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom di Surakarta, seorang putra Kanjeng Susuhunan Pakubuwana IV, yaitu yang kemudian akan bertahta sebagai Sunan Pakubuwana V.
Sangkala Serat Centhini, yang nama lengkapnya adalah Suluk Tambangraras, berbunyi paksa suci sabda ji, atau tahun 1742 tahun Jawa atau tahun 1814 Masehi. Berarti masih dalam masa bertahtanya Sunan Pakubuwana IV, atau enam tahun menjelang dinobatkannya Sunan Pakubuwana V. Menurut catatan tentang naik tahtanya para raja, Pakubuwana IV mulai bertahta pada tahun 1741 (Jawa), sedangkan Pakubuwana V mulai bertahta pada tahun 1748 (Jawa).
Yang dijadikan sumber dari Serat Centhini adalah kitab Jatiswara, yang bersangkala jati tunggal swara raja, yang menunjukkan angka 1711 (tahun Jawa, berarti masih di zamannya Sunan Pakubuwana III). Tidak diketahui siapa yang mengarang kitab Jatiswara. Bila dianggap pengarangnya adalah R.Ng. Yasadipura I, maka akan terlihat meragukan karena terdapat banyak selisihnya dengan kitab Rama atau Cemporet.

Tujuan dan pelaku penggubahan
Atas kehendak Sunan Pakubuwana V, gubahan Suluk Tambangraras atau Centhini ini dimanfaatkan untuk menghimpun segala macam pengetahuan lahir dan batin masyarakat Jawa pada masa itu, yang termasuk di dalamnya keyakinan dan penghayatan mereka terhadap agama. Pengerjaan dipimpin langsung oleh Pangeran Adipati Anom, dan yang mendapatkan tugas membantu mengerjakannya adalah tiga orang pujangga istana, yaitu:
Raden Ngabehi Ranggasutrasna
Raden Ngabehi Yasadipura II (sebelumnya bernama Rden Ngabehi Ranggawarsita I)
Raden Ngabehi Sastradipura

Sebelum dilakukan penggubahan, ketiga pujangga istana mendapat tugas-tugas yang khusus untuk mengumpulkan bahan-bahan pembuatan kitab. Ranggasutrasna bertugas menjelajahi pulau Jawa bagian timur, Yasadipura II bertugas menjelajahi Jawa bagian barat, serta Sastradipura bertugas menunaikan ibadah haji dan menyempurnakan pengetahuannya tentang agama Islam.

Pengerjaan isi
R. Ng. Ranggasutrasna yang menjelajah pulau Jawa bagian timur telah kembali terlebih dahulu, karenanya ia diperintahkan untuk segera memulai mengarang. Dalam prakata dijelaskan tentang kehendak sang putra mahkota, bersangkala Paksa suci sabda ji.
Setelah Ranggasutrasna menyelesaikan jilid satu, datanglah Yasadipura II dari Jawa bagian barat dan Sastradipura (sekarang juga bernama Kyai Haji Muhammad Ilhar) dari Mekkah. Jilid dua sampai empat dikerjakan bersama-sama oleh ketiga pujangga istana. Setiap masalah yang berhubungan dengan wilayah barat Jawa, timur Jawa, atau agama Islam, dikerjakan oleh ahlinya masing-masing.
Pangeran Adipati Anom kemudian mengerjakan sendiri jilid lima sampai sepuluh. Penyebab Pangeran Adipati Anom mengerjakan sendiri keenam jilid tersebut diperkirakan karena ia kecewa bahwa pengetahuan tentang masalah senggama kurang jelas ungkapannya, sehingga pengetahuan tentang masalah tersebut dianggap tidak sempurna.
Setelah dianggap cukup, maka Pangeran Adipati Anom menyerahkan kembali pengerjaan dua jilid terakhir (jilid sebelas dan duabelas) kepada ketiga pujangga istana tadi. Demikianlah akhirnya kitab Suluk Tambangraras atau Centhini tersebut selesai dan jumlah lagu keseluruhannya menjadi 725 lagu.

Ringkasan isi
Serat Centhini disusun berdasarkan kisah perjalanan putra-putri Sunan Giri setelah dikalahkan oleh Pangeran Pekik dari Surabaya, ipar Sultan Agung dari Kerajaan Mataram. Kisah dimulai setelah tiga putra Sunan Giri berpencar meninggalkan tanah mereka untuk melakukan perkelanaan, karena kekuasaan Giri telah dihancurkan oleh Mataram. Mereka adalah Jayengresmi, Jayengraga/Jayengsari, dan seorang putri bernama Ken Rancangkapti.
Jayengresmi, dengan diikuti oleh dua santri bernama Gathak dan Gathuk, melakukan “perjalanan spiritual” ke sekitar keraton Majapahit, Blitar, Gamprang, hutan Lodhaya, Tuban, Bojonegoro, hutan Bagor, Gambirlaya, Gunung Padham, desa Dhandher, Kasanga, Sela, Gubug Merapi, Gunung Prawata, Demak, Gunung Muria, Pekalongan, Gunung Panegaran, Gunung Mandhalawangi, Tanah Pasundan, Bogor, bekas keraton Pajajaran, Gunung Salak, dan kemudian tiba di Karang.
Dalam perjalanan ini, Jayengresmi mengalami “pendewasaan spiritual”, karena bertemu dengan sejumlah guru, tokoh-tokoh gaib dalam mitos Jawa kuno, dan sejumlah juru kunci makam-makam keramat di tanah Jawa. Dalam pertemuan dengan tokoh-tokoh itu, dia belajar mengenai segala macam pengetahuan dalam khazanah kebudayaan Jawa, mulai dari candi, makna suara burung gagak dan prenjak, khasiat burung pelatuk, petunjuk pembuatan kain lurik, pilihan waktu berhubungan seksual, perhitungan tanggal, hingga ke kisah Syekh Siti Jenar. Pengalaman dan peningkatan kebijaksanaannya ini membuatnya kemudian dikenal dengan sebutan Seh (Syekh) Amongraga. Dalam perjalanan tersebut, Syekh Amongraga berjumpa dengan Ni Ken Tambangraras yang menjadi istrinya, serta pembantunya Ni Centhini, yang juga turut serta mendengarkan wejangan-wejangannya.
Jayengsari dan Rancangkapti diiringi santri bernama Buras, berkelana ke Sidacerma, Pasuruan, Ranu Grati, Banyubiru, kaki Gunung Tengger, Malang, Baung, Singhasari, Sanggariti, Tumpang, Kidhal, Pasrepan, Tasari, Gunung Bromo, Ngadisari, Klakah, Kandhangan, Argopuro, Gunung Raung, Banyuwangi, Pekalongan, Gunung Perau, Dieng, sampai ke Sokayasa di kaki Gunung Bisma Banyumas.
Dalam perjalanan itu mereka berdua mendapatkan pengetahuan mengenai adat-istiadat tanah Jawa, syariat para nabi, kisah Sri Sadana, pengetahuan wudhu, shalat, pengetahuan dzat Allah, sifat dan asma-Nya (sifat dua puluh), Hadist Markum, perhitungan slametan orang meninggal, serta perwatakan Pandawa dan Kurawa.
Setelah melalui perkelanaan yang memakan waktu bertahun-tahun, akhirnya ketiga keturunan Sunan Giri tersebut dapat bertemu kembali dan berkumpul bersama para keluarga dan kawulanya, meskipun hal itu tidak berlangsung terlalu lama karena Syekh Amongraga (Jayengresmi) kemudian melanjutkan perjalanan spiritualnya menuju tingkat yang lebih tinggi lagi, yaitu berpulang dari muka bumi.

Lingkup pengaruh
Karya ini boleh dikatakan sebagai ensiklopedi mengenai “dunia dalam” masyarakat Jawa. Sebagaimana tercermin dalam bait-bait awal, serat ini ditulis memang dengan ambisi sebagai perangkum baboning pangawikan Jawi, induk pengetahuan Jawa. Serat ini meliputi beragam macam hal dalam alam pikiran masyarakat Jawa, seperti persoalan agama, kebatinan, kekebalan, dunia keris, karawitan dan tari, tata cara membangun rumah, pertanian, primbon (horoskop), makanan dan minuman, adat-istiadat, cerita-cerita kuno mengenai Tanah Jawa dan lain-lainnya.
Menurut Ulil Abshar Abdalla, terdapat resistensi terselubung dari masyarakat elitis (priyayi) keraton Jawa di suatu pihak, terhadap pendekatan Islam yang menitik-beratkan pada syariah sebagaimana yang dibawakan oleh pesantren dan Walisongo. Melihat jenis-jenis pengetahuan yang dipelajari oleh ketiga putra-putri Giri tersebut, tampak dengan jelas unsur-unsur Islam yang “ortodoks” bercampur-baur dengan mitos-mitos Tanah Jawa. Ajaran Islam mengenai sifat Allah yang dua puluh misalnya, diterima begitu saja tanpa harus membebani para penggubah ini untuk mempertentangkannya dengan mitos-mitos khazanah kebudayaan Jawa. Dua-duanya disandingkan begitu saja secara “sinkretik” seolah antara alam monoteisme-Islam dan paganisme/animisme Jawa tidak terdapat pertentangan yang merisaukan. Penolakan atau resistensi tampil dalam nada yang tidak menonjol dan sama sekali tidak mengesankan adanya “heroisme” dalam mempertahankan kebudayaan Jawa dari penetrasi luar.
Dr. Badri Yatim MA menyatakan bahwa keraton-keraton Jawa Islam yang merupakan penerus dari keraton Majapahit menghadapi tidak saja legitimasi politik, melainkan juga panggilan kultural untuk kontinuitas. Tanpa hal-hal tersebut, keraton-keraton baru itu tidak akan dapat diakui sebagai keraton pusat. Dengan demikian konsep-konsep wahyu kedaton, susuhunan, dan panatagama terus berlanjut menjadi dinamika tersendiri antara tradisi keraton yang sinkretis dan tradisi pesantren yang ortodoks.
Serat Centhini terus menerus dikutip dan dipelajari oleh masyarakat Jawa, Indonesia dan peneliti asing lainnya, sejak masa Ranggawarsita sampai dengan masa modern ini. Kepopulerannya yang terus-menerus berlanjut tersebut membuatnya telah mengalami beberapa kali penerbitan dan memiliki beberapa versi, diantaranya adalah versi keraton Mangkunegaran tersebut.

Kepustakaan
Sunan Pakubuwana VII, yang bertahta dari tahun 1757 sampai 1786, berkenan menghadiahkan Suluk Tambanglaras tersebut kepada pemerintah Belanda. Akan tetapi yang diberikan hanya mengambil dari jilid lima sampai sembilan, dengan menambah kata pengantar baru yang dikerjakan oleh R.Ng. Ranggawarsita III. Kitab tersebut bersangkala Tata resi amulang jalma, yang berarti 1775, dan dijadikan delapan jilid, diberi judul Serat Centhini, yang terdiri dari 280 lagu.
Penerbit PN Balai Pustaka pada tahun 1931 pernah pula menerbitkan ringkasan Serat Centhini, yang dibuat oleh R.M.A. Sumahatmaka, berdasarkan naskah milik Reksapustaka istana Mangkunegaran. Ringkasan tersebut telah dialihaksarakan dan diterjemahkan secara bebas dalam bentuk cerita, yang diharapkan pembuatnya dapat mudah dipahami oleh masyarakat yang lebih luas.

Sebuah Puisi dari Kartini

Sebuah Puisi dari Kartini

Raden Ajeng Kartini, ternyata pernah menulis sebuah puisi (mungkin lebih dari satu), tapi ini salah satu yang bisa diungkap, dari kumpulan surat-suratnya yang tidak diumumkan (terima kasih Ibu Sulastin, yang telah menerjemahkan dari bahasa aslinya, Belanda).
Puisi itu merupakan bagian penutup dari suratnya yang pendek, hanya sekitar 14 paragraf. Isi dari suratnya, merupakan gugatan Kartini pada system masyarakat dan kebudayaan yang yang maskulin, serta dominasi pandangan yang salah atas semua itu.
Puisinya sendiri, berjudul “Kepada Kawan-kawan Kami” ditulis pada masa-masa akhir hayatnya, pada usia 25 tahun. Ditulis dengan penuh semangat romantic, namun tetap dengan daya kritisnya yang luar biasa. Idiom-idiomnya, menunjukkan bahwa ia seorang yang mempunyai begitu banyak sumber bacaan, serta cukup terlatih berolah kata dalam menulis.
Puisinya menebarkan pluralism, multikulralisme, universalitas yang sampai kini masih terus diupayakan. Tetapi, Kartini dalam ruang sempitnya optimis, bahwa kelak, “Di seluruh, seluruh dunia/ Jiwa yang sama akan berjumpa!”

Berikut puisi dari salah satu pendekar perempuan Indonesia itu:


Kepada Kawan-kawan Kami

Apakah gerangan yang menyebabkan manusia-manusia,
Sebelumnya tak saling mengenal, sejenak
Saling memandang, lalu berkehendak,
Tak akan berpisah selama-lamanya?

Apakah gerangan yang mengharukan hati,
Waktu mendengar bunyi suara,
Tak pernah di dengar sebelumnya,
Lama bak rekuiem berdesing di telinga kami?

Apakah gerangan yang membuat jiwa,
Dalam gembira ria melambung tinggi,
Membuat hati hebat berdetak?
Bila sepasang mata,
Manis memandang mata kami,
Dan kami teringat jabat tangan hangat?

Tahukah kau, samudera biru,
Yang mengombak dari pantai ke pantai?
Tahukah kau berkata kepadaku,
Ada dasar keajaiban itu, wahai!

Katakan padaku, angin bersayap cepat,
Dari tempat-tempat jauh kau datang,
Apakah gerangan yang tak dipanggil datang,
Selamanya mengikat hati kuat-kuat?

Wahai! Katakan, surya emas bercahaya-cahaya,
Sumber cahaya dan panas alam semesta nan kuasa,
Apa gerangan keajaiban besar itu namanya,
Yang membuat hati kita dengan nikmatnya,
Melembutkan, melupakan duka,
Yang menghampiri kita di dunia?

Sinar matahari menembus dedaunan,
Jatuh pada pasang naik bergelombang;
Menjadi serba berkilauan di sekitar, serba terang,
Di bawah sinar cahaya matahari keemasan!

Permainan permai dari cahaya dan warna,
Disaksikan mata nan gembira ria,
Dan dari dada yang terharu dalam,
Membubungkan puji syukur yang dalam!

Bukan satu keajaiban, melainkan tiga!
Berkilauan di atas indung mutiara yang cair,
Dengan huruf berlian tertulis oleh cahaya:
“Cinta, Persahabatan, Simpati!”

Cinta, Persahabatan, Simpati,
Riak ombak menggumam menirukan,
Bayu di pepohonan menyanyikan
Kepada anak manusia yang bertanya.

Manis terbelai telinga yang mendengarkan
Oleh nyanyian gelombang dan angin nan ajaib,
“Di seluruh, seluruh dunia
Jiwa yang sama akan berjumpa!”

Jiwa yang sama tak memandang warna,
Tak memandang pangkat dan tingkat,
Tetapi tangan berjabat
Dalam hal apa pun jua!

Dan bila jiwa telah berjumpa,
Tak terlepaskan lagi ikatan,
Yang mengikatnya. Dan dalam hal apa jua
Meski waktu dan jarak, tetap setia.

Suka duka ditanggung bersama,
Demikian sepanjang hidup!
Duhai! Bahagia nian bertemu dengan jiwa nan sama
Telah tersua harta terkudus.

JIWA

Rembang, September 1904

CHAIRIL ANWAR

CHAIRIL ANWAR

CHAIRIL ANWAR
Nama penyair Chairil Anwar adalah identik dengan kesusastraan Indonesia. Setiap orang Indonesia yang telah mengecap pendidikan formal pasti mengenal namanya. Ini menunjukkan bahwa Chairil Anwar sangat dikenal sebagai sastrawan, khususnya penyair. Walaupun Chairil Anwar meninggal dalam usia yang relatif muda 27 tahun, tetapi melalui karya-karyanya ia membuktikan kata-kata dalam sajaknya, Sekali berarti setelah itu mati dan Aku mau hidup seribu tahun tahun lagi. Chairil hadir pada situasi peralihan yang penuh gejolak. Sebuah transisi dari situasi terjajah menuju kemerdekaan. Penolakan terhadap kolonialisme dan pemikiran dunia yang muncul pada masa Perang Dunia II ikut membentuknya. Surat Kepercayaan Gelanggang merupakan wujud penolakan Chairil dan teman-temannya terhadap pengertian kebudayaan nasional sebagai kegiatan melap-lap kemudian lama yang lapuk. Kebudayaan menurut mereka adalah cara suatu bangsa mengatasi masalah yang lahir dari situasi zaman dan tepat. Chairil Anwar menjadi sangat terkenal karena dua hal. Pertama, ia menulis sajak-sajak bermutu tinggi dengan jenis sastra yang menyandang suatu ideologi atau pemikiran besar tertentu seperti perang, revolusi dan sebagainya. Ahli sastra menyebut sastra jenis ini dengan istilah Sastra Mimbar, yaitu jenis sastra yang secara tematis sangat erat hubungannya dengan keadaan dan persoalan zaman. Hal itu dapat berupa tanggapan dari persoalan-persoalan besar di zaman itu. Beberapa karya Chairil Anwar yang termasuk sastra mimbar adalah Aku, Perjanjian Dengan Bung Karno, Catatan Tahun 1946 dan Kerawang Bekasi. Kedua, ia juga menulis sajak-sajak yang menjadi bahan perenungan yang temanya lebih kepada persoalan-persoalan keseharian. Ahli sastra menyebutnya Sastra Kamar. Karya Chairil yang digolongkan kedalam jenis ini adalah Senja di pelabuhan, Derai-Derai Cemara, Penghidupan. Pengolahan bahasa sajak-sajak Chairil sangat khas dan spesifik. Chairil telah membuka kemungkinan yang sangat tak terduga. Ia membawa suasana, gaya, ritme, tempo, nafas, kepekatan dan kelincahan yang mengagumkan kepada sastra Indonesia. Sampai saat ini masih terasa pengaruh bahasa sajak Chairil ikut membawa warna perkembangan bahasa dan sastra Indonesia. Chairil mampu melepaskan bahasa dari lingkungan kaidah baku bahasa, yang mungkin secara tata bahasa menyalahi aturan, tetapi sebagai sarana ekspresi sangat fungsional dan indah. Begitu kuatnya pengaruh Chairil di dalam mengolah pengucapan bahasa sajak, menyebabkan penyair-penyair sesudahnya meneladani cara pengolahan bahasa sajaknya. Chairil tidak setengah-setangah dalam menggeluti dan menjalani prisnsip hidupnya. Ia dapat mengungkap sesuatu persoalan dengan luas karena pengalaman dan perjalanan hidupnya yang luas pula. Ia juga seorang yang sangat gemar membaca. Apalagi kegemaran\nya ditunjang oleh kemampuannya berbahasa asing seperti Jerman, Belanda dan Inggris dengan baik. Melalui penguasaan bahasa itulah ia memperoleh informasi dari pihak pertama. Dunia kesusastraan sebagai pilihan hidupnya dijalaninya dengan sangat bersungguh-sungguh. Ia pun bekerja habis-habisan untuk mengolah pilihan hidupnya itu dan ia berhasil, meskipun ia tidak sempat menyaksikan bahwa ia benar-benar berhasil menggeluti pilihan hidupnya itu karena ajal lebih dahulu menjemputnya. Banyak orang mengira bahwa Chairil adalah petualang kumuh. Tetapi salah seorang sahabatnya, Asrul sani membantahnya. Chairil selalu berpakaian rapi, meskipun ia seorang bohemian. Kerah kemejanya selalu kaku karena dikanji, bajunya seantiasa disetrika licin. Ia bahkan boleh dikatakan dandy. Chairil memang telah menjadi legenda sastra Indonesia. Ia memang besar karena kesungguhannya bekerja dan memperjuangkan pilihan hidupnya. Semangat inilah yang dapat menjadi teladan bagi generai muda. Untuk mengenang Chairil Anwar, DKJ memberikan anugerah sastra kepada para sastrawan dan penyair dengan nama Anugerah Sastra Chairil Anwar. Hadiah itu telah diberikan kepada Mochtar Lubis tahun 1992, Sutardji Calzoum Bachri tahun 1998. Chairil Anwar dianggap sebagai pendobrak zaman dan pelopor angkatan ’45, (Dari Berbagai Sumber)

Beberapa Puisi Chairil Anwar

Senja di Pelabuhan Kecil
(buat Sri Aryati)

Ini kali tiada yang mencari cinta
Di antara gudang, rumah tua, pada cerita
Tiang serta temali. Kapal,perahu tiada berlaut
Gerimis mempercepat kelam.
Ada juga kelepak elang
Menyinggung muram, desir hari lari berenang
Menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
Dan kini tanah dan air tidur hilang ombak
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
Menyusur semenanjung, masih pengap harap
Sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
Dari pantai keempat, sendu penghabisan bisa berdekap


Mirat Muda, Chairil Muda

Dialah, Miratlah, ketika mereka rebah,
Menatap lama ke dalam pandangnya
Coba memisah matanya menantang
Yang satu tajam dan jujur yang sebelah
Ketawa diadukannya giginya pada
Mulut Chairil; dan bertanya: Adakah, adakah
Kau selalu mesra dan aku bagimu indah?
Mirat raba urut Chairil, raba dada
Dan tahukah di kini, bisa katakan
Dan tunjukkan dengan pasti di mana
Menghidup jiwa, menghembus nyawa
Liang jiwa-jiwa saling berganti. Dia
Rapatkan
Dirinya pada Chairil makin sehati;
Hilang secepuh segan, hilang secepuh cemas
Hiduplah Mirat dan Chairil dengan deras,
Menuntut tinggi tidak setapak berjarak
Dengan mati.


Sajak Putih
Buat tunanganku Mirat

Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagimu menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita mati datang tidak membelah……
Buat Miratku, Ratuku! Kubentuk dunia sendiri
Dan kuberi jiwa segala yang dikira orang mati di alam ini!
Kecuplah aku terus, kecuplah
Dan semburkanlah tenaga dan hidup dalam tubuhku….


TAMAN

Taman punya kita berdua
tak lebar luas, kecil saja
satu tak kehilangan lain dalamnya.
Bagi kau dan aku cukuplah
Taman kembangnya tak berpuluh warna
Padang rumputnya tak berbanding permadani
halus lembut dipijak kaki.
Bagi kita bukan halangan.
Karena
dalam taman punya berdua
Kau kembang, aku kumbang
aku kumbang, kau kembang.
Kecil, penuh surya taman kita
tempat merenggut dari dunia dan ‘nusia

Maret, 1943


LAGU BIASA

Di teras rumah makan kami kini berhadapan
Baru berkenalan. Cuma berpandangan
Sungguhpun samudra jiwa sudah selam berselam

Masih saja berpandangan
Dalam lakon pertama
Orkes meningkah dengan “Carmen” pula.

Ia mengerling. Ia ketawa
Dan rumput kering terus menyala
Ia berkata. Suaranya nyaring tinggi
Darahku terhenti berlari

Ketika orkes memulai “Ave Maria”
Kuseret ia ke sana…

Maret 1943


SAJAK PUTIH
buat tunanganku Mirat

bersandar pada tari warna pelangi
kau depanku bertudung sutra senja
di hitam matamu kembang mawar dan melati
harum rambutmu mengalun bergelut senda

sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
meriak muka air kolam jiwa
dan dalam dadaku memerdu lagu
menarik menari seluruh aku

hidup dari hidupku, pintu terbuka
selama matamu bagiku menengadah
selama kau darah mengalir dari luka
antara kita Mati datang tidak membelah…

Buat miratku, Ratuku! kubentuk dunia sendiri,
dan kuberi jiwa segala yang dikira orang mati di
alam ini!
Kucuplah aku terus, kucuplah
Dan semburkanlah tenaga dan hidup dalam tubuhku…

18 Januari 1944


PEMBERIAN TAHU

Bukan maksudku mau berbagi nasib,
nasib adalah kesunyian masing-masing.
Kupilih kau dari yang banyak, tapi
sebentar kita sudah dalam sepi lagi terjaring.
Aku pernah ingin benar padamu,
Di malam raya, menjadi kanak-kanak kembali,

Kita berpeluk cium tidak jemu,
Rasa tak sanggup kau kulepaskan.
Jangan satukan hidupmu dengan hidupku,
Aku memang tidak bisa lama bersama
Ini juga kutulis di kapal, di laut tak bernama!

1946


HAMPA
kepada Sri yang selalu sangsi

Sepi di luar, sepi mendesak-desak
Lurus-kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak
Sepi memagut
Tak suatu kuasa-berani melepaskan diri
Segala menanti. Menanti-menanti.
Sepi.
Dan ini menanti penghabisan mencekik
Memberat-mencengkung punda
Udara bertuba
Rontok-gugur segala. Setan bertampik
Ini sepi terus ada. Menanti. Menanti.

Maret 1943


SENJA DI PELABUHAN KECIL
buat Sri Ajati

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut.

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai ke empat, sedu penghabisan bisa terdekap.

1946



akuakui369@gmail(blogspot) കേനങ്ങാന്‍ SEMALAM