Powered By Blogger

Khamis, 3 Jun 2010

Sebuah Puisi dari Kartini

Sebuah Puisi dari Kartini

Raden Ajeng Kartini, ternyata pernah menulis sebuah puisi (mungkin lebih dari satu), tapi ini salah satu yang bisa diungkap, dari kumpulan surat-suratnya yang tidak diumumkan (terima kasih Ibu Sulastin, yang telah menerjemahkan dari bahasa aslinya, Belanda).
Puisi itu merupakan bagian penutup dari suratnya yang pendek, hanya sekitar 14 paragraf. Isi dari suratnya, merupakan gugatan Kartini pada system masyarakat dan kebudayaan yang yang maskulin, serta dominasi pandangan yang salah atas semua itu.
Puisinya sendiri, berjudul “Kepada Kawan-kawan Kami” ditulis pada masa-masa akhir hayatnya, pada usia 25 tahun. Ditulis dengan penuh semangat romantic, namun tetap dengan daya kritisnya yang luar biasa. Idiom-idiomnya, menunjukkan bahwa ia seorang yang mempunyai begitu banyak sumber bacaan, serta cukup terlatih berolah kata dalam menulis.
Puisinya menebarkan pluralism, multikulralisme, universalitas yang sampai kini masih terus diupayakan. Tetapi, Kartini dalam ruang sempitnya optimis, bahwa kelak, “Di seluruh, seluruh dunia/ Jiwa yang sama akan berjumpa!”

Berikut puisi dari salah satu pendekar perempuan Indonesia itu:


Kepada Kawan-kawan Kami

Apakah gerangan yang menyebabkan manusia-manusia,
Sebelumnya tak saling mengenal, sejenak
Saling memandang, lalu berkehendak,
Tak akan berpisah selama-lamanya?

Apakah gerangan yang mengharukan hati,
Waktu mendengar bunyi suara,
Tak pernah di dengar sebelumnya,
Lama bak rekuiem berdesing di telinga kami?

Apakah gerangan yang membuat jiwa,
Dalam gembira ria melambung tinggi,
Membuat hati hebat berdetak?
Bila sepasang mata,
Manis memandang mata kami,
Dan kami teringat jabat tangan hangat?

Tahukah kau, samudera biru,
Yang mengombak dari pantai ke pantai?
Tahukah kau berkata kepadaku,
Ada dasar keajaiban itu, wahai!

Katakan padaku, angin bersayap cepat,
Dari tempat-tempat jauh kau datang,
Apakah gerangan yang tak dipanggil datang,
Selamanya mengikat hati kuat-kuat?

Wahai! Katakan, surya emas bercahaya-cahaya,
Sumber cahaya dan panas alam semesta nan kuasa,
Apa gerangan keajaiban besar itu namanya,
Yang membuat hati kita dengan nikmatnya,
Melembutkan, melupakan duka,
Yang menghampiri kita di dunia?

Sinar matahari menembus dedaunan,
Jatuh pada pasang naik bergelombang;
Menjadi serba berkilauan di sekitar, serba terang,
Di bawah sinar cahaya matahari keemasan!

Permainan permai dari cahaya dan warna,
Disaksikan mata nan gembira ria,
Dan dari dada yang terharu dalam,
Membubungkan puji syukur yang dalam!

Bukan satu keajaiban, melainkan tiga!
Berkilauan di atas indung mutiara yang cair,
Dengan huruf berlian tertulis oleh cahaya:
“Cinta, Persahabatan, Simpati!”

Cinta, Persahabatan, Simpati,
Riak ombak menggumam menirukan,
Bayu di pepohonan menyanyikan
Kepada anak manusia yang bertanya.

Manis terbelai telinga yang mendengarkan
Oleh nyanyian gelombang dan angin nan ajaib,
“Di seluruh, seluruh dunia
Jiwa yang sama akan berjumpa!”

Jiwa yang sama tak memandang warna,
Tak memandang pangkat dan tingkat,
Tetapi tangan berjabat
Dalam hal apa pun jua!

Dan bila jiwa telah berjumpa,
Tak terlepaskan lagi ikatan,
Yang mengikatnya. Dan dalam hal apa jua
Meski waktu dan jarak, tetap setia.

Suka duka ditanggung bersama,
Demikian sepanjang hidup!
Duhai! Bahagia nian bertemu dengan jiwa nan sama
Telah tersua harta terkudus.

JIWA

Rembang, September 1904

Tiada ulasan: