Powered By Blogger

Khamis, 3 Jun 2010

MENGGAYANGPORNOGRAFIDALAMSASTRAINDONESIA

Mengganyang Pornografi dalam Sastra Indonesia

Oleh Bonari Nabonenar

Kita telah menghabiskan beratus ribu kilobit, mungkin malah berjuta, untuk membahas sastra dan kepornoan, persoalan yang sebenarnya tidak akan pernah selesai hanya dengan diperdebatkan, bahkan walau ditambah aksi turun ke jalan. Dengan kesadaran demikian, pastilah tulisan ini dibuat tidak untuk maksud membantu menyelesaikan persoalan tersebut. Ini hanya sekadar lontaran pertanyaan, mungkin beberapa pertanyaan.

Beberapa waktu lalu saya menerima SMS dari Kusprihyanto Namma, meminta saya memberikan jawaban, apakah saya setuju dengan gerakan antipornografi, lebih jelasnya menolak sastra yang sekadar dijadikan sebagai media untuk bermain-main dengan urusan kelamin dan sekitarnya. Maka, saya jawab, Ya, saya setuju! Tetapi, ternyata saya telah pula membaca Gatholoco dan Darmogandhul, juga Centhini terutama bagian-bagian yang oleh sebagian orang dianggap porno. Saya juga membaca Saman, Supernova, Menyusu Ayah, dan beberapa karya para perempuan yang belakangan dimasukkan ke dalam kategori Sastrawangi. Saya yakin, mereka yang lebih dahulu dan lebih keras meneriakkan pentingnya gerakan mengganyang (tak pelak: sekaligus sambil memroklamasikan/memromosikan) pornografi di dalam sastra Indonesia pernah pula dan bahkan lebih intens-- membaca karya-karya itu.

Di usia belasan tahun, saya memang bergetar dan bernafsu (kelamin) ketika membaca tulisan lucah macam Nick Carter. Tetapi, ketika di bangku kuliah berhadapan dengan Gatholoco,Darmogandhul, dan Centhini yang tak kalah beraninya dibanding Nick Carter dalam hal menggambarkan dunia kelamin dan perkelaminan, perasaan (kelamin) saya biasa-biasa saja. Gatholoco dan Darmogandhul, malahan, membuat seluruh jiwa saya gemetar ketakutan. Ketakutan yang indah, jika boleh saya bilang begitu.

Maka, menurut saya, jika pengganyangan terhadap kepornoan dalam sastra (khususon Sastra Indonesia) akan sungguh susah dilakukan dengan cara, misalnya: memenjarakan para pengarang porno, membakar semua buku-buku yang dianggap mengandung pornografi, kita masih mungkin bergerak, berupaya, di bidang regulasi. Beberapa penerbit tampaknya sudah mencantumkan label dewasa untuk buku-buku yang dianggap tabu bagi anak-anak/remaja. Tetapi, pelaksanaannya mungkin memang susah. Apalagi, RUU Anti-Pornografi dan Porno-Aksi (RUUAPP) yang sempat jadi perdebatan seru itu pun kini makin tak ketahuan juntrung-nya. Sebagian besar para penolaknya, saya kira, adalah juga bagian dari masyarakat yang tidak suka terhadap pornoaksi dan pornografi. Dengan kata lain, tampaknya penolakan itu lebih didorong oleh problem redaksional pasal-pasalnya.

Beberapa tahun silam, seorang teman mengabarkan bahwa ia sedang mengikuti (sebagai sastrawan) program Sastrawan Berkunjung ke Sekolah-sekolah. Di dalam rombongan itu, katanya, ada seorang tokoh yang dikenal pula sebagai sastrawangi, yang karya-karyanya hampir tak pernah lupa disebut-sebut ketika orang berbicara tentang kepornoan dan Sastra Indonesia. Rasanya jadi semakin lucu, ketika orang paling berpengaruh, sebutlah saja sebagai mbaureksa program dan sekaligus pemimpin rombongan itu ialah orang yang juga keras berteriak, Ganyang pornografi di dalam Sastra Indonesia! Mengapa bisa demikian?

Yang lebih lucu lagi menurut saya adalah sikap Pemerintah Republik Indonesia yang tampaknya membiarkan saja penerbit Balai Pustaka habis diganyang penerbit-penerbit swasta yang berkiblat ke Pasar. Dulu, sebelum era Reformasi, sebelum era Otonomi Daerah, kita masih melihat Balai Pustaka (yang didirikan tahun 20-an sebagai salah satu ujud pelaksanaan Politik Etis Penjajah Belanda) menerbitkan buku-buku berkualitas untuk memasok bahan bacaan sekolah-sekolah, bukan hanya buku-buku berbahasa Indonesia, melainkan juga buku-buku berbahasa daerah.

Berteriaklah sekeras-keranya, Wahai anak-anak sekolah dan para remaja, janganlah kalian membaca tulisan-tulisan porno! Tetapi, apakah kita sudah cukup menyediakan bacaan yang tidak porno bagi mereka?

Maka, kita tunggu saja, suatu saat nanti melalui Departemen Pendidikan Nasional Pemerintah akan memberikan bintang jasa kepada sastrawan yang sering menonjolkan kepornoan di dalam karya-karyanya. Karena yang mengusulkannya adalah orang besar di jagad Sasatra Indonesia. Karena pejabatnya hanya mau percaya saja, sebab ia sendiri tidak pernah mau tahu urusan Sastra Indonesia.

Sementara itu, penentu kebijaksanaan pengadaan buku untuk bacaan di sekolah-sekolah, di pusat maupun di daerah-daerah, hanya mau menunggu tawaran harga supermurah dari para penerbit komersial, yang bisa di-mark-up semau-maunya.

Oh, janganlah terlalu dimasukkan ke dalam hati, sebab itu hanya dugaan-dugaan saya saja. Tetapi, jika pun benar ada yang demikian dan kita diamkan saja, gerakan mengganyang pornografi dalam Sastra Indonesia itu pastilah hanya akan jadi isu sesaat yang tak banyak berarti.

Tiada ulasan: